About teknologi di Man3 Malang

Kamis, 29 Januari 2009


Di zaman sekarang teknologi sangatlah berperan penting dalam segala aspek kehidupan. Teknologi membantu kita menyelesaikan segala permasalahan dan segala kerumitan agar lebih mudah. Begitupun bila kita menggunakan teknologi untuk pendidikan. Dengan bantuan teknologi, tentu akan mempermudah dalam sistem pembelajaran. Tidak hanya menguntungkan bagi siswanya juga, namun para guru dan karyawan sekolah bisa menikmatinya.

Sebut saja Man 3 Malang sebagai salah satu sekolah model yang modern dengan berbagai fasilitas di dalamnya. Lab komputer, LCD, ruang muktimedia, hotspot area, dan masih banyak lagi yang disuguhkan oleh Man 3 Malang. semua ini telah disiapkan oleh sekolah untuk menciptakan suasana sekolah yang modern dan juga untuk memenuhi kebutuhan warganya. Man 3 Malang juga tak lepas dari jaringan komputer.

Apa ya manfaat jaringan komputer ?
Yang pertama membagi sumber daya adalah jaringan komputer dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk membagi sumber daya yang ada. yang kedua yaitu rehabilitas tinggi adalah jaringan komputer memungkinkan kita untuk mengcopykan data - data kedua atau tiga komputer. yang ketiga yaitu menghemat biaya adalah dengan jaringan komputer, sebuah perusahaan dapat menghemat peralatan yang harus digunakan.yang keempat sebagai sarana komunikasi adalah jaringan komputer dapat dimanfaatkan oleh perusahaan atau organisasi.

Terusin Bacanya......

Jodoh

Selasa, 13 Januari 2009


Jodoh

Hidup memang penuh kejutan, setidaknya bagiku. Semuanya berawal dari pembicaraanku dengan Mama sebulan yang lalu. Aku dan Mama sedang sarapan saat Mama tiba-tiba membuka pembicaraan.
“Sampai kapan Mama harus mengurus kamu, Bram?” Pertanyaan Mama membuatku tertegun.
”Maksud Mama?” aku menatap Mama. Mencoba menerka arah pembicaraannya.
”Yah, bukankah sudah saatnya ada perempuan lain yang menemani kamu sarapan?” Mama tersenyum menatapku.
Mungkin memang sudah waktunya aku menikah. Tahun ini usiaku tiga puluh lima tahun. Penghasilanku sebagai manager di salah satu perusahaan asing cukup memadai untuk berumah tangga. Apalagi yang ditunggu? Pertanyaan ini sudah sangat sering kudengar dari kerabat ataupun kolegaku.
Aku tersenyum kecil.
”Mama tahu, kamu merasa bertanggungjawab kepada Mama dan adik-adikmu. Tetapi jangan lupakan yang satu itu. Mira sudah berkeluarga, Dewi juga. Sementara Mama sudah lebih dari cukup menerima perhatianmu. Mama sangat bersyukur memiliki anak sepertimu.”
Aku terdiam.
”Bram, Papa titip Mira dan Dewi…juga Mama…” Papa berbisik perlahan sehari sebelum kematiannya, sepuluh tahun yang lalu. Saat itu, Mira baru saja masuk kuliah dan Dewi masih kelas satu SMU. Sejak itu, hari-hariku kuisi dengan kerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
”Bram…” Mama menunggu jawabanku.
”Iya, iya, Insya Allah. Ma…”
Mama benar. Tidak ada lagi alasan bagiku untuk menunda rencana berkeluarga. Dewi sudah menikah tiga bulan yang lalu. Amanah Papa sudah kutunaikan. Persoalannya adalah, siapa wanita yang akan kunikahi? Aku tidak pernah pacaran. Aku takut terjebak melakukan perbuatan yang tidak baik. Alternatif calon juga tidak ada. Jadi, siapa yang akan kulamar?
Sebenarnya, aku bisa minta bantuan kepada orang lain. Mama, kerabat atau kolegaku dengan senang hati pasti akan berusaha membantu. Tetapi, sebelum meminta bantuan orang lain, aku akan sholat istikharah dulu. Aku ingin melangkah dengan tenang.
Dan terjadilah keajaiban itu. Setelah dua kali sholat, tiba-tiba Laras muncul dalam mimpiku. Begitu jelas. Laras? Aku tercengang. Laras adalah teman kuliahku di Pasca Sarjana. Sudah hampir dua semester ini aku kuliah lagi di salah satu PT terkenal di Jakarta. Ia sangat cerdas dan rasional. Ia juga kerap membantaiku dalam diskusi-diskusi di ruang kuliah.
”Menurut saya, teori yang saudara gunakan untuk menganalisa persoalan ini tidak tepat. Terlalu dipaksakan…” Komentar Laras saat membantaiku seminggu sebelumnya terngiang kembali di telingaku. Komentar yang diucapkannya dengan santun itu selalu membuatku gelagapan. Komentarnya selalu logis, ilmiah dan sulit dibantah. Sudah berkali-kali aku dan teman-teman ’dibantainya’.
Ya, mengapa harus Laras? Perempuan yang kepribadiannya begitu kuat dan tenang, sampai tidak ada pria yang berani menjalin hubungan lebih dekat dengannya. Sebenarnya Laras baik, sangat baik. Ia tidak pernah segan membantu orang lain atau berkata kasar. Tetapi aku benar-benar sungkan menghadapinya. Apalagi membayangkan harus melamarnya.
Mimpi itu juga menyisakan pertanyaan buatku. Benarkah ini isyarat Allah? Atau, aku diam-diam menyukainya sehingga sosok Laras muncul dalam mimpiku. Aku bimbang.
“Bagaimana, Bram?” Mama meminta kejelasan dariku dua minggu kemudian. Aku hanya mampu tersenyum kecut.
“Belum ada calon? Apa perlu Mama bantu?” Mama menatapku.
Aku tergagap. “Tidak perlu, Ma. Saya akan mencoba mencari sendiri saja.” Mama tersenyum. Aku menarik napas lega. Untuk sementara aku berhasil menenangkan Mama.
Malamnya, aku mencoba menenangkan diri dan mulai sholat istikharah lagi. Kali ini, aku mencoba lebih tenang dan pasrah kepada Allah. Aku mencoba melepaskan segala kebimbangan dan sungguh-sungguh meminta keputusan-Nya.
Aku berjalan bersisian dengan Laras. Begitu dekat. Laras tersenyum. Manis dan sangat lembut. Mimpi itu lagi! Aku terbangun menjelang pukul tiga dinihari. Sebentuk perasaan aneh masih sempat kurasakan saat aku terbangun. Indah!
Apakah Laras memang jodohku? Pertanyaan itu kembali bermain dalam benakku. Aku mencoba menelisik kembali kejernihan hatiku. Benarkah aku memang tidak terobsesi kepada Laras? Aku mengurai kembali semua interaksiku dengan Laras. Sejak pertemuan pertama.
”Saya Laras!” Ia memperkenalkan diri dengan lugas, tanpa senyum. Juga tanpa jabat tangan. Aku hanya mengangguk.
”Bram.” Aku menyebutkan namaku. Dingin, tapi cukup sopan. Itu kesan pertamaku. Ia tidak genit atau cerewet seperti satu dua orang perempuan yang pernah kukenal. Seingatku, tidak pernah ada momen istimewa antara aku dengan Laras. Benar-benar hanya hubungan antar teman kuliah. Aku malah lebih akrab dengan Susi, teman kuliahku yang lain. Aku juga tidak pernah merasa ’aneh’ saat berinteraksi atau berpapasan dengannya. Bahkan ketika aku nyaris bertabrakan dengannya. Semua wajar dan biasa saja.
So? Aku masih tetap ragu. Kuputuskan untuk menunggu sampai benar-benar merasa yakin. Dan selama masa menunggu itu, terjadi suatu peristiwa yang semakin membuatku merasa ciut menghadapi Laras.
”Maaf…” Laras mengacungkan tangan. Semua mata tertuju kepadanya. Aku menahan napas. Apa yang akan dikatakannya kali ini. Aku berdebar-debar menunggu komentarnya atas makalah yang kupresentasikan.
”Menurut saya, makalah ini tidak memenuhi kualifikasi ilmiah.” kata-kata itu diucapkannya dengan nada meminta maaf. Aku terkejut. Makalah ini memang kusiapkan dengan terburu-buru. Pekerjaanku di kantor sedang bertumpuk. Beberapa teman menggumam. Dosenku tersenyum kecil. Ia sudah biasa menghadapi Laras.
Aku tersinggung dan merasa dipermalukan. Ini adalah komentar paling tajam yang pernah dilontarkan Laras kepadaku. Walaupun kemudian aku bisa menerimanya saat ia dengan argumentatif menjelaskan kelemahan makalahku.
Kejadian itu membuatku semakin ragu. Entahlah, barangkali aku merasa tidak siap mempunyai istri yang dapat membantaiku setiap saat. Atau mempertanyakan kebijakanku sebagai suami. Aku memang tidak terbiasa dipertanyakan seperti itu. Kedudukanku sebagai anak tertua dan tulang punggung keluarga membuat adik-adikku dan Mama memperlakukanku secara istimewa. Apa kata Mas saja, terserah Mas… Selalu itu yang kudengar dari mereka. Kalaupun mereka tidak sependapat denganku, tidak pernah ada yang secara lugas menyatakan ketidaksetujuannya. Begitu juga dengan bawahanku di kantor.
Aku semakin tidak berani menghadapinya setelah peristiwa itu. Jadi, untuk sementara aku terpaksa menenangkan diri lagi. Tapi desakan dari Mama tiga hari yang lalu membuatku terpaksa bertindak.
”Bram, mungkin sudah waktunya Mama membantu. Sudah sebulan, dan kamu belum juga bertindak apa-apa. Mama sudah semakin tua, Bram. Belakangan ini, Mama semakin sering sakit. Mama tidak ingin terjadi sesuatu pada diri Mama sebelum kamu menikah…” Mama berkata setengah memohon. Aku menunduk.
”Bram…”
Aku menatap Mama. Mama menarik napas panjang. Aku menunggu Mama bicara.
”Kalau tiga hari lagi tidak ada keputusan, Mama akan mencari calon untuk kamu. Kamu kenal Nita? Anak Bu Retno? Nita baik, lho… Dia juga cantik dan terpelajar…” Bla…bla…bla. Hampir lima belas menit Mama bercerita tentang Nita. Aku kenal Nita. Nita memang baik, tetapi bukan itu persoalannya. Aku ingin menuntaskan masalah Laras dulu.
Tidak ada jalan lain. Akhirnya, kumantapkan hatiku untuk bicara dengan Laras. Tapi, bagaimana caranya? Lewat telepon? Nomer telepon Laras saja aku tidak punya. Atau, mengajaknya bicara secara langsung? Bagaimana kalau ia menolak dan membantaiku seperti ia membantai makalahku?
Akhirnya, kuputuskan untuk meminta nomer telepon Laras dari Susi. Aku berhasil menghindar dari pertanyaan Susi dengan memberinya sebentuk senyuman aneh. Untungnya, ia tidak bertanya lebih jauh.
Malamnya, aku mencoba menelpon Laras. Aku menggenggam Hp-ku dengan perasaan tidak karuan. Dengan tangan gemetar aku menelponnya.
”Halo, Assalamu’alaikum!” Suaranya terdengar tegas. Tiba-tiba aku merasa tidak siap berbicara dengannya.
”Halo! Halo!”
Aku mematikan Hp-ku. Looser! Gerutuku dalam hati. Aku benar-benar tidak berdaya.
”Bram, waktunya tinggal hari ini.” Mama menatapku serius saat aku berpamitan tadi pagi.
”Ya, Ma. Aku usahakan.” Aku menjawab ragu.
Jadi, hari ini, mau tidak mau aku harus bicara dengan Laras. Aku berangkat ke kampus dengan gugup. Sampai di kampus, aku mencari-cari Laras. Sosoknya tidak kelihatan sampai kuliah dimulai. Lebih kurang lima belas menit setelah kuliah dimulai, Laras muncul. Ia menuju kearahku dan mengambil tempat di sebelahku, satu-satunya tempat kosong yang tersisa siang itu. Laras duduk dengan tenang di sebelahku dan segera mengikuti kuliah. Aku semakin gelisah. Tubuhku mulai berkeringat.
Kuliah usai. Aku menunggu kesempatan untuk bicara dengannya. Aku sengaja memperlambat berkemas sambil menunggunya. Satu persatu teman kuliah meninggalkan ruangan. Akhirnya, setelah ruangan cukup sepi, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya.
”Laras! Boleh saya bicara?”
Laras menghentikan kesibukannya membereskan buku-buku dan beberapa makalah yang berserakan.
“Ya.” Ia melanjutkan kesibukannya tanpa menatapku sama sekali.
Tanganku gemetar. Suaraku tersekat di tenggorokan.
”Ada yang bisa saya bantu?” Laras akhirnya melihat ke arahku. Ia mulai kelihatan tidak sabar dengan sikapku. Ia sudah selesai membereskan buku-bukunya.
Aku masih tidak mampu bicara. Keringat dingin semakin membasahi tubuhku. Ya Allah, aku benar-benar grogi.
”Bram!” suara Laras meninggi.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sejenak. Yudi, satu-satunya teman yang masih berada di ruang kuliah menoleh ke arah kami.
“La..ras…” Suaraku tersendat.
Laras menatapku bingung.
“Ehm…would you…ehm…marry me?” aku tergagap. Akhirnya, keluar juga perkataan itu dari mulutku.
Laras menatapku heran. Ia menunduk, berpikir sejenak. Aku menunggu. Rasanya seperti menunggu sebuah vonis.
”Kupikir, itu bukan ide yang baik.” Katanya setelah beberapa menit terdiam. ”Aku duluan, Bram. Assalamu’alaikum…”
Aku terpana. Aku masih juga terpana saat tiba-tiba Yudi menepuk pundakku.
“Apa tidak ada cara yang lebih romantis, Bung?” Yudi tersenyum. Aku salah tingkah.
Begitulah, proses perjodohanku terpaksa kandas di tengah jalan. Aku tidak patah hati. Tentu saja karena aku memang tidak pernah jatuh cinta pada Laras. Tetapi kuakui, aku cukup terpukul dengan kenyataan ini. Ternyata, aku tidak cukup pandai membaca isyarat Allah. Atau, caraku yang tidak baik? Melamar di ruang kuliah tanpa prolog seperti itu memang naif sekali.
Sore itu aku pulang dengan lemas. Mama duduk di teras, sedang asyik dengan koran sore dan secangkir teh hangat. Setelah mencium tangan Mama, aku menghempaskan tubuh di kursi.
Mungkin Mama bisa menangkap kegetiranku. Mama mengusap rambutku. Aku bersyukur Mama tidak membuka pembicaraan mengenai perjodohanku. Aku tidak siap.
Sepanjang sore itu aku mencoba menenangkan diri. Aku mencoba bersikap realistis menghadapi kenyataan ini. Aku percaya, Allah akan memberikan seorang pendamping untukku.
Pikiranku masih tidak menentu saat aku bangun tadi pagi. Aku sholat istikharah lagi tadi malam. Tapi kali ini, aku tidak memperoleh isyarat apa-apa. Akhirnya, kuputuskan untuk bicara dengan Mama. Toh, Nita gadis yang baik juga.
Aku mendahului bicara sebelum Mama bertanya tentang keputusanku.
”Ma…”
”Ya? Kenapa, Bram?”
”Aku…” Aku terdiam sejenak. Aku baru akan melanjutkan ucapanku saat sebuah pesan masuk. Aku meraih HP yang tergeletak di meja dengan enggan.
Laras???
Apa lagi yang akan dikatakannya sekarang? Berdebar aku membuka pesannya.
Setelah saya pikirkan lagi, ide kamu tidak terlalu buruk. Tawarannya masih berlaku?
Aku terpana. Hidup memang penuh kejutan.

Terusin Bacanya......

Salam Berbuah cinta

Salam Berbuah Cinta

Diro, sebut saja begitu nama lelaki bujangan asli Jawa ini. Diro dikenal sebagai lelaki yang sopan, hanif, dan punya ciri khas, yakni senang mengucapkan salam “Assalaamu’alaikum” kepada siapa pun -muslim- yang dijumpainya di manapun.
Suatu ketika, Diro ditugaspindahkan ke kota X, untuk jangka waktu dua tahun. Setibanya di kota X itu, lelaki bujangan ini langsung mencari tempat kos/kontrakan yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah tiga hari di kota tersebut, Diro baru menyadari bahwa ada gadis cantik dan shalihah yang tinggal hanya beberapa meter dari kos-nya. Seperti biasa, tanpa maksud buruk, tanpa niat menggoda, Diro pun mengucapkan salam kepada gadis itu, saat keduanya bersama-sama menunggu bis di tepi jalan.
Sekali lagi, Diro tidak punya niat apapun ketika mengucapkan salam. “Dia berjilbab, jadi sudah pasti muslim, maka saya ucapkan salam kepadanya. Lagi pula gadis itu tetangga saya, kan wajar sama tetangga saling menyapa, ” alasannya.
Ucapan salam Diro dibalas delikkan mata tidak suka dari gadis tetangganya itu. Namun Diro tidak peduli, karena niatnya sangat tulus. Begitu pun sore harinya, ketika berpapasan di jalan, Diro kembali mengucapkan, “Assalaamu’alaikum Dik… ” Jawabannya tidak berbeda dengan pagi hari, wajah tidak suka.Mungkin pikir si gadis itu, Diro tidak ubahnya lelaki iseng yang senang menggoda. Sudah lazim diketahui, lelaki-lelaki iseng dan kurang kerjaan senang menggoda wanita. Dan bila yang digoda adalah wanita berjilbab, ucapan “Assalaamu’alaikum” biasa dijadikan andalan mulut-mulut lelaki ini.
Berbeda dengan Diro. Dia tidak sakit hati ketika salamnya tidak dibalas, atau bahkan dibalas dengan tatap mata sinis. Setiap hari, setiap kali bertemu dengan gadis itu tetap mengucapkan salam. Diro tidak bosan meski salamnya selalu mendapat jawaban yang serupa, dan sesekali makian, “maunya apa sih?”
Selengkapnya silahkan dibaca di
: http://www.eramuslim.com/atk/oim/7412122400-salam-berbuah-cinta.htm

Terusin Bacanya......